Gerakan Mahasiswa dan Transformasi Sosial Kontemporer Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si

Gerakan Mahasiswa dan Transformasi

Sosial Kontemporer[1]

 

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si[2]

 

 

“Sebuah gerakan mungkin ditindas secara kejam,

tetapi berbagai perubahan yang diupayakannya

mungkin akan timbul dikemudian hari karena

konfrontasi adalah tanda peringatan

bagi kelompok penguasa bahwa mereka lebih baik

melakukan perubahan ketimbang  menghadapi

pergolakan lebih dahsyat di masa mendatang.”

(Oberschall)

 

 

 

Gagasan paper ini tidak bermaksud untuk menjangkau semua sejarah pemetaan gerakan mahasiswa dan telaah perkembangannya masing-masing. Tentu energi untuk itu akan cukup besar dan membutuhkan multi kajian yang amat luas dengan cakupan data yang maha luas juga.  Tentu sebagai sebuah kajian, ia akan menjadi proyek yang menantang, fenomenal dan amat prestisius. Paper ini akan membahas dan mendiskusikan secara khusus sebuah entitas gerakan sosial yang menempati ruang perbincangan khusus dan masih menarik untuk dibaca yakni ‘gerakan mahasiswa’. Sebagai tema tentu ia tidak berdiri sendiri. Banyak kemungkinan tulisan apapun tentangnya selalu akan menyertakan tema-tema yang lain yang saling memperkaya dan menggenapi.

 

Ada beberapa pertimbangan mendasar yang menjadi daya tarik penulis untuk mengekplorasi dan membaca kembali persoalan ‘gerakan mahasiswa’ secara lebih jauh.  Pertama, secara pribadi penulis masih menganggap bahwa ‘gerakan mahasiswa’ menjadi sektor gerakan yang amat krusial dan penting untuk ikut terlibat menggenapi gerakan sosial dalam skala yang lebih luas.  Banyak mandat dan peran yang sebenarnya  sangat terbuka bisa dimainkan dan diolah terkhusus untuk melibatkan diri dalam isu-isu perubahan sosial yang lebih besar. Kedua, refleksi akhir-akhir ini, terutama pasca reformasi berjalan justru menjukan kondisi gejala sebaliknya. Terlihat kesan terjadi penurunan atas greget kualitas gerakan dengan berbagai kondisi yang amat memprihatinkan. Premis awal ini perlu dikembangkan dalam argumentasi yang lebih ilmiah. Polarisasi dan keterjebakan pada ruang-ruang gerakan yang terbatas membuat banyak gerakan mahasiswa mengalami kemandulan dan pada titik ekstrim mengalami ‘dekadensi’. Pokok tema inilah yang menjadi titik sentral kajian yang ingin diangkat dalam paper ini. Ketiga, tentu saja untuk menambah ruang pendikusian dan telaah ilmiah secara lebih serius dan bisa menyumbang referensi penting bagi telaah gerakan mahasiswa selanjutnya. Tak berarti mengatakan telaah-telaah sebelumnya belum ada, gagasan paper ini berkehendak menampilkan perluasan perpektif pandangan tentang kerumitan-kerumitan gerakan mahasiswa yang saat ini berkembang.

 

Pada pengalaman transformasi politik Indonesia mahasiswa selalu seakan ditempatkan menjadi aktor penting pelaku perubahan. Bahkan dalam banyak hal dianggap sebagai ‘kekuatan moral’[3] yang amat besar dalam menginjeksi dan mendorong berbagai tranformasi politik yang terjadi. Mahasiswa selalu dianggap sebagai ‘agen perubahan’ yang independen  dan masih steril terhadap kepentingan-kepentingan pragmatis politis. Karenanyalah ia dianggap menjadi pembawa pesan moral yang kuat. Walau begitu masih banyak juga yang melihat ini sebagai cara melebih-lebihkan peran yang justru sering menjebak kita pada situasi kesadaran semu. Gerakan mahasiswa justru menjadi “mitos baru”[4] dan pada kenyataannya sering menjadi barisan kekuatan yang tidak luput dari berbagai manuver politik yang bermain. Agen perubahan adalah ‘mitos’. Itulah catatan kritik keras sebagian orang yang melihat sejatinya siapa gerakan mahasiswa.  Poin ini masih  menjadi perdebatan yang menghangat di kalangan gerakan. Barangkali kritik itu sebagai cara mengingatkan kembali agar mahasiswa tidak mudah jatuh dalam lubang yang sama seperti masa perjalanan gerakan sebelumnya.

 

 

Pentingnya Otokritik Gerakan : Provokasi Awal

 

Gemilang prestasi yang dilabelkan pada tubuh gerakan mahasiswa seringkali membuat mahasiswa lengah dan lupa aka konsistensi yang harus diembannya. Tidak jarang diantara kemegahan label tersebut, ada cerita tentang penghianatan gerakan. Keberhasilan politik menjadi sekedar dimaknai sebagai ‘peluang’ dan ‘kesempatan’ untuk mencapai mobilitas kelas tertentu.  Tidak jarang anasir inilah yang menjadi embrio penting bagi ruang pembusukan gerakan dikemudian hari. Meskipun dinamika seperti itu biasa terjadi dalam dunia gerakan, tetapi tak bisa ditutupi bahwa pengaruh subjektifitas moralitas gerakan turut menyumbang pada anggapan-anggapan yang muncul kemudian.

 

Pengalaman penghianatan gerakan tentu tidak khas esklusif hanya dimiliki oleh mahasiswa. Secara prinsip ia selalu berpotensi pada setiap ruang dan sektor gerakan apapun. Watak ‘oportunisme’ dalam bentuk penggembosan dan pembusukan gerakan seringkali membuat patahan-patahan dan kegagalan jangka panjang gerakan. Memang bukan hanya faktor  mentalitas yang sifatnya kadang lebih personal, tetapi dalam banyak pengalaman lebih merujuk pada kegagalan untuk membangun fondasi yang kokoh secara ideologis dalam menempatkan gerakan secara lebih luas. Perdebatan tentang problem kasus ini menjadi tidak sekedar sebagai kegagalan kader gerakan dalam mengawal konsistensi prinsip dalam visi hidup secara lebih luas tetapi mencangkup kerangka nalar paradigmatik yang sifatnya lebih laten pada pembangunan aspek nalar dasar metodologi gerakan.

 

Seorang yang kemudian terjebak pada nalar pragmatis oportunistik tidak hanya berbicara bahwa ia semata karena ‘gagal’ dan ‘tergoda’ pada pilihan yang kontraproduktif bagi gerakan karena kontradiksi yang dialaminya. Bisa jadi secara  ontologis, bacaan apa yang dimaknai sebagai gerakan mahasiswa memang sudah problematis sejak awal. Sejak awal mereka sudah membawa rancangan kegagalan yang diam-diam tidak disadari. Argumentas ini mengandaikan sebuah problem pada jantung pilihan sistem, ideologi dan manajemen gerakan. Ada pilihan ideologi gerakan yang memang sejak awal perumusan sudah bermasalah dan berpotensi melahirkan banyak kaum oportunis dan ‘potong jalan’ ketika gerakan sudah mencapai titik-titik penting keberhasilannya.

 

Di mana posisi sesungguhnya gerakan mahasiswa harus diletakkan? Bagaimana model dan bentuk gerakan yang sejatinya harus dlakukan? Bagaimana gerakan mahasiswa harus menjawab berbagai problem penting yang hadir dengan berbagai rupa? Seberapa pentingkah posisi strategis gerakan mahasiswa jika diletakkan dalam kepentingan perubahan masyarakat secara lebih luas? Sebagian pertanyaan-pertanyaan inilah yang masih perlu selalu dikaji. Karena tidak sedikit usaha ke arah sana semakin kering sepi dilakukan. Banyak yang bahkan mengalami frustasi dann patah dijalan karena berbaga tantangan polemik di dalam dan situasi eksternal yang masih begitu besar untuk dijawab. Kegagalan gerakan kemudian tidak hanya terjadi pada level taktis metodologis tetapi sampai pada ranah nalar pikir teoritik yang mandeg dan beku. Alhasil tidak sedikit kemudian terseret pada gelombang trend isu yang sejatinya sudah tidak disadari menjadi domain nalar-nalar kepentingan politik yang lebih besar.

 

Studi yang serius pada gerakan mahasiswa yang lebih masuk pada pendiskusian paradigmatik pilihan gerakan menjadi sangat penting. Jika lietaratur  gerakan masih kita anggap sebagai alat yang penting untuk menjadi rujukan dan bacaan kritis, maka kiranya kepentingan dari penulisan buku ini menjadi relevan. Seperti halnya dalam prinsip gerakan kita yakini bahwa perkembangan kuantitatif selanjutnya juga akan menentukan perkembangan kualitatif maka penerbitan banyak tulisan tentang gerakan akan mempunyai peran penting menjawab problem mendasar ini. Sebagaimana keterlibbatan praksis menjadi penting, tak berarti harus meninggalkan peran penting yang lain yakni pengembangan teoritik yang benar. Kedua-duanya bisa menjadi cermin. Kegagalan atas yang satu biasanya bisa dirujuk pada kegagalan pada aspek yang lain.  Lemahnya pembacaan teoritik akhirnya menyebabkan gerakan menjadi sering terombang-ambing dalam gagasan yang tidak berperspektif. Sebaliknya, pembacaan teoritik tanpa digenapi dengan pengalaman praksis gerakan yang kongkrit akan membawa ia pada pergulatan di atas angina. Dua-duannya bukanlah cara pikir yang berjalan secara mekanik mana yang harus didahulukan, melainkan menjadi kesatuan ikatan yang secara prinsip saling melengkapi. Toh meskipun perdebatan tentang hal tersebut sudah banyak bisa dilampaui, namun dalam kenyataan praksis keduanya sering mengalami kegagalan dan kebuntuan.

 

Secara utuh beberapa kajian yang menyentuh problem gerakan mahasiswa baik dalam ranah praksis sampai dasar teoritik bisa dikatakan masih terbatas, apalagi tulisan yang kemudian secara panjang menggali tantangan dunia kontemporer saat ini yang semakin rumit dan serius harus dibaca oleh gerakan mahasiswa. Banyak isu-isu yang justru hadir dalam jantung tubuhnya sendiri seperti isu-isu berkait kebijakan kampus, pendidikan dan isu-isu konsolidasi gerakan kampus justru lupa digali secara lebih serius. Jikapun di beberapa tempat gelombang perlawanan mahasiswa itu terjadi tetapi imbas dampaknya menjadi terbatas dan lagi-lagi belum menjadi kekuatan yang strategis untuk menjadi entitas penentu kebijakan  yang terjadi di kampus. Trend gerakan yang dibangun mengarah pada fragmentasi gerakan yang sifatnya spontan dan parsial.[5] Di ujung lain kooptasi kepentingan politik elite juga masih sering nampak sehingga lambat laun apa yang disebut kepercayaan masyarakat pada tubuh gerakan berangsur semakin menghilang.  Akhirnya gerakan mahasiswa semakin terkurung pada dunia dan medan fungsi yang semakian terbatas.

 

Peta dan wujud tantangan kontemporer masyarakat yang makin kompleks, justru belum mampu dijawab dengan wujud ‘peradikalan gerakan’ yang lebih maju. Bahkan banyak komunitas mahasiswa asyik dengan aktifitasnya sendiri. Mahasiswa  larut dalam berbagai problem yang sama sekali tidak berkait dengan tantangan-tantangan perubahan yang lebih baik. Di satu sisi, banyak bermunculan wujud aktifitas mahasiswa yang menjadi keniscayaan semakin melebarnya ruang spesialisasi dunia pendidikan, tetapi justru terjadi pengecilan kualitas gerakan. Rasanya semakin sepi kita melihat entitas gerakan yang berdaya ledak besar untuk mengawal setiap tuntutan perubahan. Rasanya gerakan mahasiswa telah mati! Demikian rasa frustasi yang makin terdengar hari-hari ini dengan sekian tidak hadirnya mahasiwa dalam berbagai persoalan yang sejatinya harus disambut dan direspon. Alih-alih menyelesaikannya, ia justru dibanyak hal menjadi agen penyambung kepentingan kekuasaan yang bekerja dan menjalar dalam masyarakat seperti halnya juga terjadi dalam dunia kampus.

 

 

Menjernihkan Pemahaman Gerakan Mahasiswa

 

Saya pikir, pertama yang harus kita jernihkan dahulu adalah tentang bagaimana pemahaman dasar kita terhadap apa yang dimaksud sebagai ‘gerakan mahasiswa’? Pada titik ini sebaiknya kita menengok sebentar pemahama-pemahaman dasar tersebut. Membedakan definisi yang lebih cenderung ‘fungsional’[6]  tentang mahasiswa, ‘Gerakan Mahasiswa’ (GM) secara generik lebih memberi pengertian yang lebih dinamis. Rumusan final tentang apa yang dimengerti tentang GM tentu tidaklah begitu saja bisa ditemukan. Kita akan mencari prinsip dan kondisi umum yang bisa membedakaan dengan pengertian fungsi atau kondisi mahasiswa yang lain. Lebih tidak sekedar hanya untuk memahami, namun untuk memberikan makna pada ‘gerakan mahasiswa’. Kita bisa memulai dengan pertanyaan apa yang bukan gerakan dan mana yang sebenarnya bisa didefinisikan sebagai gerakan. Tentu saja pertanyaan ini akan menyentuh dasar pemahaman tentang pemahaman masyarakat atau minimal lingkungan sosial yang dihadapi. Artinya bisa dikatakan bahwa, ‘Gerakan Mahasiswa’ merupakan bagian gambaran dari representasi ‘Gerakan Sosial’.[7]  Sebab yang utama disadari bahwa entitas GM selalu tak lepas dengan dinamika perubahan yang terjadi dalam konteks sosial (masyarakat) yang melingkupinya. Apa yang melingkupinya tentunya adalah keseluruhan dimensi yang memberi pengaruh pada gerakan mahasiswa. Makna dan representasi pengertian atas dimensi ini yang beragam yang menyebabkan setiap definisi tentang gerakan juga akan beragam pula. Bahkan sebenarnya, studi tentang gerakan bukanlah studi tentang kelompok stabil atau institusi mapan, tetapi studi kelompok atau institusi yang berada dalam proses pembentukannya.

 

Batasan pengertian di atas akan sedikitnya membantu untuk memahami dinamika proses dan konteks historis bagaimana GM bisa difahami. Konteks ekosistem historis yang selalu menyertai gerakan, menyebabkan gerakan mahasiswa selalu bertumbuh dalam situasi-situasi ketegangan dan konfliktual. Mandat yang dibawa gerakan selalu tidak lepas untuk menjawab kondisi-kondisi ketegangan tersebut. Ada kondisi disparitas, kesenjangan, ketimpangan, ketidakadilan dan problem-problem masalah sosial yang mendorong gerakan mahasiswa harus mengambil bagian. Capaian idealnya tentu adalah perubahan. Tidak sekedar karena baju identitas yang melekat, melainkan keniscayaan sejarah yang wajib untuk diambil. Pada titik ini maka ia kerab dimengerti sebagai ‘agen historis’ yang penting untuk mendorong perubahan sosial. Definisi M.S Gore tentang gerakan menjadi relevan kita simak[8]:

 

“Semua gerakan yang berjuang demi perubahan melibatkan suatu wawasan baru, suatu perspektif baru, suatu perluasan atau redefinisi dari sebuah sistem kepercayaan dan nilai yang telah ada yang mungkin berawal dari seorang individu atau sekelompok kecil individu, yang kemudian menyebarluaskan cara berpikir mereka dengan cara memobilisasi individu-individu  yang berpikiran serupa yang nantinya akan memperluas penyebaran persepsi-persepsi baru , nilai-nilai baru dan praktik-praktik baru”

 

Tidak untuk dimengerti sebagai agen historis yang linier, gerakan mahasiswa tetap saja akan selalu ditentukan dan juga terlibat menentukan struktur sosial yang ada. Kondisi ekonomi politik tertentu juga amat mempengaruhi bentuk, model dan tipe gerakan yang dibangun. Kesadaran ini penting dipahami, mengingat masih banyak yang mendudukan entitas gerakan sebagai subjek (agen) penentu dalam perubahan dan ia dipahami sebagai sebuah garis determinan yang amat berpengaruh.[9] Setidaknya masih banyak tulisan yang meletakan pada peran sentral ini. Pada himpitan kekuasaan struktur ekonomi politik, tidak jarang bahkan menyebabkan peran agen (subjek) gerakan mahasiswa ini menjadi tersubordinasi dan bahkan tenggelam. Dalam banyak kasus ia hanya tertinggal menjadi pengguna (konsumen) dari struktur dan fungsi yang telah disediakan oleh sistem. Jikapun ada kelindan keterlibatan mahasiswa, kadar pengaruhnya menjadi semakin menciut. Tarik menarik ‘struktur dan agency’ ini juga amat berharga menjadi kerangka teoritik yang bisa dipakai untuk memahami gerakan mahasiswa.

 

 

Mahasiswa dan Dinamika Historis Kekuasaan

 

Konteks dinamika pengalaman historis dan pasang surutnya GM di Indonesia akan memberi ilustrasi wajah yang lebih lengkap. Setiap generasi jaman dalam periodisasi sejarah bangsa Indoneisia peran yang diberikan dan dibentuk oleh GM tidaklah seragam. Struktur ekonomi politik dan dinamika relasi kekuasaan memberi sumbangsih keragaman watak dan peran tersebut. Keragaman itu bisa terdapat pada pilihan dan peletakkan ideologi gerakan, relasi dan posisi terhadap kekuasaan ataupun  juga model-model pilihan gerakan. Pada kaitan dengan pilihan dan relasinya dengan  ideologi amat jelas tergambar dalam perbedaan-perbedaan penting. Pada era tahun 1910-an sampai era 1930-an peran mahasiswa sebagai ‘penggagas’ amatlah besar. Pada tahun tersebut peran mahasiswa terfokus dalam ‘menyusun’ dan ‘mengembangkan’ disamping menerapkan dan mendukung ideologi. Dalam dekade ini meminjam telaah yang ditulis Arbi Sanit[10], mahasiswa merupakan komponen utama kaum intelektual Indonesia. Bersama dengan beberapa penggerak bangsa Indonesia seperti Cokroaminoto, Wahidin Sudirohusodo, generasi mahasiswa tahun 1910-an seperti Soetomo dan generasi 1920-an seperti Soekarno dan Hatta, telah meletakkan dasar pijakan ideologi bangsa Indonesia di kemudian hari.

 

Berbeda dengan tahun sebelumnya, Tahun 1940-an peran mahasiswa lebih banyak sebagai pendukung atas berjalannya ideologi.[11] Beberapa generasi penggagas awal sudah ada dalam pimpinan-pimpinan republik dan gerakan mahasiswa setelahnya lebih hanya menenpatkan sebagai penerap. Pada ujung periode tahun 1960-an peran penggagas ideologi ini semakin menurun. Pada era ini apa yang disebut fragmentasi dan polarisasi ideologi makin terlihat tajam. Beberapa kelompok mahasiswa terkotakan dalam kepentingan masing-masing kelompok, aliran dan partai. Generasi-generasi gerakan mahasiswa seperti kelompok Cipayung (HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, PMII) mau tidak mau sebenarnya terlahir dari tuntutan ketegangan politik. Apalagi era kontestasi era Perang Dingin di taun 1960-an membawa dan merembes pada ketegangan sampai pada gerakan mahasiswa. Beberapa gerakan mahasiswa yang berafiliasi dan merupakan satu garis ideologi komunisme dan sosialisme (seperti CGMI) satu sisi berhadapan dengan organ gerakan mahasiswa yang berdiri pada sikap anti komunisme pada sisi yang lain.[12] Kebanyakan dari mereka yang sejatinya juga mewarnai kontestasi transisi politik 1966 di mana kekuatan Orde Baru mulai menggantikan posisi kekuasaan Soekarno.

 

Setelah berkuasanya Orde Baru, terutama era tahun 1970-an dan 1980-an, ketika pola pemberangusan dan represi atas seluruh daya kritis mahasiswa terutama dalam kegiatan berpolitik dan berideologi maka terjadi pemerosotan yang luar biasa. Politik NKK/BKK merupakan produk puncak dari upaya serius untuk mendepolitisasi GM. Ruang aktifitas gerakan selalu diawasi. Jikapun kemudian berkembang kegiatan-kegiatan di dalam kampus, ia sekedar berwujud dalam aktifitas-aktifitas instrumental yang berkait dengan persoalan internal kemahasiswaan yang tidak berkait dengan persoalan politik. Kehidupan kampus benar-benar ada dalam tekanan. Birokrasi kampus dibuat untuk sekaligus perpanjangan kekuasaan. Sistem pendidikan juga amat dikontrol sesuai kebutuhan fungsional dan pragmatis pembangunan yang menjadi kredo besar Orde Baru. Sensor dan pelarangan berbagai kegiatan mahasiswa yang bertendensi politis semakin ketat.[13]  Beberapa sebagian gerakan kemudian mentransformasi diri dan bergerak ke bawah tanah melalui pembentukan forum-forum dan kelompok-kelompok studi. Di lain sisi pemerintah melalui birokrasi kampus telah membentuk standar acuan baku dan resmi organisasi dan kegiatan mahasiswa yang direstui oleh negara. Sistem senat mahasiswa dan UKM kemudian muncul di kampus. Tahun 1980-an, kelompok-kelompok studi dan juga jaringan penerbitan pers kampus yang tumbuh subur dan ditahun 1990-an kembali merapatkan diri untuk membangun strategi gerakan terutama masa-masa mendekati krisis politik 1990-an dan memuncak pada transisi perubahan politik tahun 1998. Di tahun 1980-an sampai era 1990-an inilah peran mahasiswa yang kembali mengangkat pentingnya perumusan ideologi semakin berkembang.

 

 

Politik Pasca 1998 : Membaca Wajah Demokrasi Indonesia Saat Ini

 

Sekedar menengok saja, harapan atas perubahan politik dan demokratisasi begitu kuat pada transisi politik 1998 karena sudah tidak relevannya bangunan sistem lama yang sekian lama berkuasa. Semua orang berharap perubahan itu bisa diwujudkan. Bagi rakyat kebanyakan, perubahan itu berarti pengandaian terjadinya perubahan pada tata kelola negara yang lebih baik yang akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Gelombang harapan itu kian waktu kian menyurut manakala apa yang diartikan sebagai perubahan nasib tidak kian membaik. Tidak menutup mata, ada beberapa prestasi reformasi yang hari ini bisa dirasakan terutama beberapa kebijakan sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis seperti kebebasan pers dan hak kebebasan berpolitik yang lebih longgar. Boleh saja itu menjadi poin kemajuan transisi ke arah lebih demokratis, namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa konfogurasi perubahan itu juga mencipta wajah krisis dan problem sosial yang makin merupa dengan berbagai bentuk.

 

Apa yang difahami sebagai ‘kebebasan’[14] dan ‘keterbukaan’ sebagai unsur demokratisasi dalam bangunan perspektif liberal, tidak begitu saja kemudian bisa mengangkat derajat solidaritas, keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik. Keterbukaan dan kebebasan tidak menutup ruang atas lahirnya manifes eksploitasi baru. Kebebasan lebih bercitra ‘pasar’ ketimbang demokrasi sesungguhnya. Nalar budaya yang dibangun adalah ‘kompetisi’ dan bukan ‘solidaritas’. Warga negara menjadi subjek anonim. Anonimitas mendorong individualisme yang bergerak tak ubahnya seperti kerumunan konsumen pasar. Makna politik akhirnya menyempit tak ubahnya medan transaksional tukar beli. Kemanfaatan politik menjadi memusat hanya pada sejauh mana ia mampu mendorong ‘laba’ atau ’profit’ politik yang terkosentrasi pada minoritas yang terbatas. Bagi Hannah Arendt, politik tak ubahnya akan hanya menjadi ‘pasar’ jika ruang pablik politis terdistorsi oleh nalar kepentingan kapital.

 

Problem menjadi semakin akud, manakala transisi politik demokrasi tidak dibarengi dengan keseriusan mengawal aspek terpentingnya yakni  ‘komitmen keperpihakan’. Komitmen etis tak lagi ada ketika ruang demokratisasi bisa disulap menjadi sekedar ruang kompetisi tanpa batas. Tentu saja yang akan menjadi pemenang adalah mereka yang mempunyai perangkat modal kekuasaan yang lebih terutama kapital sumber daya dan logistik uang. Hukum dan kebijakan yang diharap menjadi pengendali dan pelindung masyarakat sekedar menjadi tangan panjang dari kekuatan pasar. Apalagi senyatanya bahwa klaim transparasi, partisipasi, kebebasan, kemerdekaaan bersuara, hanya berlaku pada momen dan konteks terbatas. Lebih hanya menjadi fiksi dan manipulasi ketimbang sebuah habitus dan budaya politik yang nyata. Pada panggung belakang sudah terproteksi dalam nalar yang sudah baku yakni ‘rasionalitas sarana’ dengan capaiannya jelas yakni ‘kekuasaan tak terbatas’

 

Pemilu sebagai gambaran sederhana atas wujud demokrasi tidak beranjak dari residu persoalan yang makin menguat. Oligarkhi nepotisme kekuasaan pada sistem otoritarianisme tak berubah. Justru pemilu pasca reformasi melahirkan sistem oligarkhi dengan kecenderungan ‘plutokrasi’[15]  yang lebih terdeferiansi dalam berbagai mutualismenya. Kekuatan intervensi modal, money politik, baiaya lonjakan pemilu, kekerasan sosial, dan hilangnya nalar keperpihakan pada kelas rakyat mayoritas justru semakin menguat. Pepatah dan metafora ‘menuang anggur lama dalam botol yang baru’ seolah menjadi kenyataan. Kebebasan kian hari justru menjadi ‘mimpi horor’ bagi jaminan kehidupan manusia. Dengan kebebasan itu pula rezim lama berhasil menutup segala ingatan kolektif massa tentang kejahatan yang pernah diperbuat. Dengan kebebasan pula rezim telah membangun rehabilitasi pencitraan diri. Tak menjadi sulit bagi seorang ‘penjahat masa lalu’ mengubah diri menjadi ‘pahlawan’ pada saat ini. Cita-cita kebebasan dalam sistuasi seperti ini menjadi terasa ‘menjengkelkan’ dan  ‘absurd’. Menjadi mengembang sebagai ‘fiksi’ ketimbang membumi dalam kenyataan.

 

Sedikit meminjam catatan kritis dari Vedi R. Hadiz[16], kenyataannya Indonesia tidak sedang dalam ‘transisi politik’. Pertama, format demokrasi yang sekarang ditegakkan adalah sebuah sistem yang ditandai oleh praktik-praktik politik uang dan kriminalitas politik yang sama sekali tak beranjak dari sistem yang lama yakni nalar politik Orde Baru. Kedua, tidak ada satu sistem kendaraan reformasi murni yang efektif. Ketiga, menurut Hadiz, kerangka perubahan politik yang baru itupun lahir dan berkembang dalam sifat khusus dari kekuatan-kekuatan sosial yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan menyusul jatuhnya Soeharto. Menyoal transisi demokrasi dan analisisnya tentang demokrasi di Indonesia ia secara kritis menambahkan bahwa :“…bahwa demokrasi, dalam kondisi tertentu, tidak kalah bergunanya bagi berbagai kepentingan ‘predatoris’, sebagaimana rezim otoritarian yang antidemokrasi, dengan suatu syarat bahwa kelompok-kelompok dominan ini mampu menguasai dan memanfaatkan lembaga-lembaga demokratik secara paksa[17].  Formasi institusional politik boleh berubah tetapi yang berkuasa tetap rezim dan aktor-aktor yang sama.

 

Jika perjuangan demokrasi di saat ‘rezim totaliter Orde Baru’ lebih menempatkan vis a vis pihak kawan dan lawan yang lebih jelas, perjuangan demokratisasi saat ini justru berhadapan dengan nalar tubuhnya sendiri yakni kebebasan sekaligus para pelaku politik yang ‘predatoris’. Nalar utamanya tetap merampok walaupun membawa jargon demokrasi dan perubahan sebagai klaim politiknya. Sistem oligarkhi lama tidak bergeser. Oligarkhi baru makin menguat dengan berbagai praktik berdemokrasi. Era demokrasi justru menumbuh suburkan ‘kartel-kartel kekuasaan’ yang berorientasi pada kekuasaan modal. Mau tidak mau, krisis demokrasi harus dibaca mempunyai dua problem yakni nalar logikanya sendiri dan praktik relasi kuasa yang berkepentingan atasnya. Barangkali sebagian orang tidak begitu saja setuju dengan premis ini. Namun untuk perluasan sudut pandang, analisis semacam ini perlu menjadi perhatian. Jika poinnya melihat bahwa ‘demokrasi’ adalah sistem yang cukup berkapabilitas menjawab kehendak perubahan, situasi krisis saat ini wajar orang akan bertanya: apakah sedemikian lemahnya prinsip nalar demokrasi berhadapan dengan kooptasi relasi kekuasaan di luar dirinya?

 

 

 

Demokrasi, Kapitalisme Pasar  dan Kembalinya Otoritarianisme

 

Sebagian besar nalar instrumentalis akan lebih bersibuk untuk selalu melihat ini sebagai problem teknis dan prosedural formal kelembagaan. Maka jawabanya selalu merujuk pada kerangka institusional. Sejak reformasi bergulit hingga saat ini, tambal sulam dan perubahan dalam dimensi institusional selalu terjadi, Sekian kebijakan peraturan, pembentukan format kelembagaan dan juga amandemen undang-undang telah dilakukan. Entah didorong oleh antusias dan kegenitan berdemokrasi, bagian dari pembentukan konsensus-konsensus politik baru ataupun memang ‘by desaign’ bagian dari keterkaitan dengan dorongan kepentingan global, perubahan-perubahan konstitusi dan institusi telah berlangsung. Namunpun demikian, situasi tetap tidak beranjak dari nalar lama yang terus terwariskan, terutama pola karakteristik relasi kekuasaan dan kelas dominan yang berkuasa. Warisan ‘otoritarianisme’[18] yang pernah dibangun Orde Baru dalam berbagai dimensi operasinya justru menjamur dan bermetamorfosis dalam rupa-rupa yang baru.

 

Dalam perjalanan berkait momen historis, mungkin transisi demokrasi rezim otoritarianisme Orde Baru menuju perjalanan reformasi politik Indonesia menjadi momen penggalan waktu yang amat berguna untuk menjadi analisis pembuka.[19] Justru secara prinsip sejatinya momen dialektis sebelumnya dalam proses transisi demokrasi selalu akan menentukan momen-momen dialektis setelahnya. Angin demokratisasi yang bergulir begitu kuat pada tumbangnya rezim Soeharto, tidak bisa dipungkiri juga buah interaksi dengan perubahan dan dorongan kepentingan kapitalisme pasar. Berbagai kebijakan deregulasi, privatisasi, debirokratisasi dan berbagai kebijakan-kebijakan ekonomi politik neoliberal berhasil dibentuk. Lebih dari puluhan produk kebijakan berorientasi pada pro pasar kapitalis. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah demokrasi menjadi ruang terbuka dan mudah mengundang  intervensi pasar hadir ataukah sebaliknya bahwa liberalisasi ekonomi global (neoliberalisme) yang berperan memaksa sebuah negara membuka diri pada demokrasi?

 

Dalam konteks transisi politik Indonesia, neoliberalisme memang tak hanya menggunakan ruang demokrasi sebagai jargon dan lip service semata. Pasar neoliberal bahkan selalu menagendakan prinsip-prinsip demokrasi yang seluas-seluasnya  terutama upaya memotong intervensi negara yang hanya akan menghambat proses berjalannya pasar. Tetepai prinsip ini tidaklah harus diletakan sama pada konteks kepentingan yang berbeda. Dalam relasi kuasa yang lain ia justru bisa membentuk sebaliknya Prinsipnya kekuatan ekonomi pasar tak menghiraukan apakah sebuah negara demokratis atau tidak, tetapi terpenting yang menjadi mendasar adalah apakah ia cukup bersahabat dan kondusif bagi upaya akumulasi keuntungan kapitalisme pasar atau tidak.[20] Jika justru kontraproduktif, maka tak segan-segan kekuatan kapitalisme pasar akan menggunakan cara dan dalil apapun untuk merubahnya. Menjadi beralasan bahwa upaya sebuah transformasi peralihan kapitalisme pasar pada sebuah negara akan ditentukan dengan format kekuatan sosial politik yang ada. Kebertemuan ini menghadirkan satu bentuk relasi dan artikulasi relasi produksi kapitalis yang khas diantara kepentingan-kepentingan kekuasaan yang berkeleindan.

 

Pieere-Philippe Rey, seorang antropolog Prancis menuturkan dengan sangat baik melalui teori artikulasi kapitalismenya bahwa dalam periode-periode transisi peralihan kekuasaan dalam satu negeri tidaklah dengan begitu saja menghilangkan unsur formasi kekuatan lama dalam tahap tertentu justru memperkuat hubungan eksploitasi-eksploitasi yang sudah ada.[21] Dengan begitu, kapitalisme pasar bisa mendapat bagian untuk terlibat menentukan cara-cara produksi kapitalis yang ingin dibangun. Dalam konteks transisi peralihan Indonesia, tumbangnya rezim Soeharto yang lebih berkarakteristik kapitalisme oligarkhis non demokratis terbatas tidaklah kemudian begitu saja tiba-tiba berganti total. Neoliberalisme dalam banyak hal penting untuk mempertahankan relasi-relasi kekuasaan dengan metamorfosis wajah yang berbeda. Watak kekuasaan tetap sama. Tesis tentang ‘otoritarianisme’ yang masih hidup dan bertahan, dalam penjelasan ini menjadi masih relevan.

 

Cairnya kekuasaan setelah runtuhnya Orde Baru, menurut Hadiz tidak niscaya mengisyaratkan suatu keterputusan yang tajam dengan masa lalu.[22] Konsolidasi perubahan tidak sampai ke jantung perubahan kekuasaan sistem kelola ekonomi politiknya. Alhasil, apa yang menjadi situasi belum terkonsolidasi ini banyak dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan global untukm merombak baju dan penampilannya seraya menciptakan struktur kekuasaan baru yang lebih besar. Era reformasi dan keterbukaan justru disambut dengan berbagai kecenderungan pemberian peluang seluas-luasnya bagi intervensi kepentingan korporasi global. Jika di jaman Orde Baru kekuasaan ekonomi politik global berkolaborasi dengan kalangan terbatas yakni kekuatan kroni birokrasi negara maka melalui wajah pola barunya, korporatokrasi berevolusi  lebih meluas. Era kapitalisme yang terkosentrasi pada segelintir birokrasi negara sudah berakhir dan era neoliberalisme pasar mulai menunjukan taringnya dengan sangat leluasa.

 

Kekuasaan ekonomi global melalui seluruh kebijakan ‘pasar bebasnya’[23]  yang dikeluarkan oleh baik negosiasi dan perjanjian bilateral maupun internasional telah begitu menyebabkan negara mengalami satu dekade besar perubahan. Lembaga-lembaga besar internasional ekonomi juga memainkan pola relasi baru untuk menjadi tangan panjang dari masuknya berbagai kekuasaan tersebut. Tidak ada alasan sebenarnya bahwa negara telah menggunakan keabsahannya sebagai representasi kehendak umum untuk melakukan berbagai kebijakan yang memberi peluang pada hadirnya intervensi negara-negara lain. Namun, langkah ini tetap dilakukan walaupun warga masyarakat tidak pernah berkehendak atas hal tersebut.  Membaca fakta demikian, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa negara itu adalah kondisi alamiah dari berbagai suara dan kehendak masyarakat? Jikapun itu ternyata tidak terbukti, kemudian bagaimana kita mampu mendefinisikan kembali tentang apa itu negara sejatinya?

 

Kekuatan global melalui korporasinya mampu dengan mudah mendesakkan segala kepentingannya dalam berbagai kepentingan sektornya yang strategis di sebuah negara tertentu. Nalar kekuatan pasar selalu berlogika bahwa tak penting lagi ada pembatasan-pembatasan dan regulasi-regulasi yang mengikat hadirnya kepentingan pasar ini. Biarkan pasar berdiri bebas dan maka kesjahteraan umat manusia akan terwujud. Demikian kredo besar dari para penggagas pasar bebas atau neoliberalisme pasar. Dalam sistem neoliberal kekuatan pasar menjadi utama dan negara bangsa lambat laun akan melenyap.[24] Tetapi benarkah demikian? Apakah negara benar-benar sudah melenyap, jika kita menyaksikan kenyataannya bahwa negara dengan seluruh kebijakannya masih saja eksis dan bahkan gencar melakukan langkah-langkah yang menggunakan klaim negara. Tentu saja premis Omahe ini bisa kita maknai sebagai cara baca liberal yang belum tentu tepat. Cara baca yang begitu terburu-buru juga pernah dilontarkan oleh Francis Fukuyama mengenai berakhirnya sejarah (The End of History) di mana ia menganggap bahwa kapitalisme sebagai babak akhir pemanang dari keseluruhan sejarah saat ini.

 

Dalam bentuk, cara dan baju yang yang lain negara justru masih saja kuat dan eksis. Negara pada kenyataannya tidak lenyap melainkan justru bermetamorfosis dan menyesuaikan diri dengan dinamika kepentingan yang ada. Negara telah kehilangan ciri utamanya sebagai yang memegang kedaulatan (sovereignty) dan pelindung warga negaranya.[25] Negara justru lebih memilih dan berorientasi untuk melindungi dan menghamba para pemilik modal dan kekuatan-kekuatan kapital besarnya. Tali pengikat akan determinasi dan intervensi ini dilakukan dengan berbagai kesepakatan-kesepakatan internasional yang memaksa setiap negara harus tunduk pada aturan aturan global tersebut. Tak hanya itu, seperangkat kekuasaan global juga dijelmakan melalui beberapa bentuk kelembagaan internasional yang bertugas untuk menjadi penentu. Ambil contohlah seperti IMF, PBB, World Bank, WTO dan lainnya. Kata kunci bagi kekuasaan ini adalah: pasar bebas, perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi dan deregulasi.  Tugas negara akhirnya hanya minimal (minimal state) yakni bertugas untuk melindungi kepentingan para pengusaha dan pemilik modal.

 

Terakhir, mapping awal ini amatlah penting untuk difahami secara ktisis sehingga masing-masing gerakan mahasiswa mampu meletakkan posisi keterlibatannnya secara benar. Kegagalan gerakan mahasiswa biasanya juga amat terletak pada kesalahan dan kelemahan pembacaan kritis terhadap konteks objektif yang mereka fahami. Evolusi perubahan sosial politik dan ekonomi yang banyak melahirkan format dan kemasan baru kekuasaan seringkali membawa sekaligus wajahnya yang semakin rumit dan kompleks. Tentu menjadi kewajiban dari gerakan untuk mampu menangkap perubahan perubahan dan kerumitan-kerumitan tersebut. Transformasi dan metamorfosis gerakan menjadi niscaya dibutuhkan. Pada ujung fungsi yang lain, langkah strategis ini akan meminimalisis kemandegan dan kefrustasian gerakan.

 

 

Jabat erat dan salam juang !!!


[1] Paper ini disampaikan pada diskusi tentang “Sejarah Gerakan Mahasiswa” dalam rangka Up-grading anggota kabinet BEM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Sabtu 28 Mei 2010. Tulisan ini juga hasil tambahan kompilasi beberapa tulisan penulis yang sudah ada sebelumnya.

[2] Pemateri adalah pengamat lepas sosial politik dan sekarang mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana Yogyakarta. (No Kontak : 081329317843)

[3] Sebagai sebuah identitas, kemunculan penyebutan ‘kekuatan moral’ ini harus dibaca secara lebih kritis. Pada konteks sejarah, penyebutan itu justru dikembangkan oleh kekuatan Orde Baru pada saat itu. Terutama berkepentingan untuk membatasi skup ruang keterlibatan mahasiswa pada dimensi-dimensi praktik politik. Bersamaan dengan itu pula diam-diam ada pentabuan tentang apa yang dimenngerti tentang politik. Situasi semacamk ini bisa dibaca sebagai modus depolitisiasi kekeuasaan untuk meminggirkan gerakan mahasiswa dari fungsi sejatinya yakni gerakan politik kaum muda.

[4] Lahir dan berkembangnya ‘mitos’ terhadap gerakan mahasiswa ini bersamaan dengan terjadinya depolitisasi gerakan. Pada titik yang lain menyebabkan keterpisahan dengan komponen perubahan yang lain yang sejatinya menjadi kekuatan yang sesungguhnya. Nalar yang kadang sering muncul adalah bahwa gerakan mahasiswa sering kali difahami sebagai sebuah kekuatan yang besar di antara kekuatan politik yang lain. Rasa kemegahan diri ini sering kali menggelincirkan diri gerakan pada situasi keretakan dan keterpecahan konsolidasi gerakan.

[5] Warna ‘spontannya’ bisa dicontohkan dengan kegemaran gerakan yang hanya selalu berkecenderungan untuk merespon isu yang kadang sifatnya elitis tanpa bersabar untuk membangun fondasi dan praktik gerakan secara jangka panjang. Warna ‘parsialnya’ terlihat pada semakin terkurungnya aktifitas gerakan pada kotak aktifitas dan kerja esklusif kelembagaan sendiri-sendiri. Masing-masing gerakan terpisah-pisah dan semakin lemah dalam tingkat konsolidasi.

[6] Pengertian ‘mahasiswa’ tidak hanya terberi karena status fungsionalnya sebagai pribadi yang tercatat secara formal dalam kampus sebagai mahasiswa, melainkan definisi yang melekat pada makna peran dan fungsinya dalam sejarah perubahan sosial.

[7] Lihat, Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Penerbit Prenada, Jakarta, 2010, hal. 326. Gerakan Sosial menurut Eyerman dan Jamison bisa difahami sebagai “Tindakan kolektif yang kurang lebih terorganisir, bertujuan perubahan sosial atau lebih tepatnya kelompok individu yang secara bersama bertujuan mengungkapkan perasaan tak puas secara kolektif di depan umum dan mengubah basis sosial dan politik yang dirasakan tak memuaskan itu”.

[8] Lihat, Rajendra Singh, Gerakan Sosial Baru (terjemahan : Eko P. Darmawan), Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2010, hal. 184.

[9] Ambil contoh jargon dan mitos yang sering terdengar seperti istilah “mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of changes)” pada banyak kasus justru telah menjadi candu yang mengilusi gerakan.  Definisi ini justru dibanyak hal menjadi pujian yang meninakbobokan dari prinsip kenyataan yang ada. Gerakan mahasiswa menjadi terbawa dalam kecenderungan subjektif atau kebanggaan diri yang berlebih. Banyak hal pula justru menghilangkan peran analisis kritis, di mana gerakan sejatinya juga merupakan produk dari relasi struktur masyarakat yang berjalan.

[10] Lihat, Arbi sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi Moral dan Aksi Politik, Penerbit Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hal.  42-43.

[11] Pada era demokrasi parlemen di mana partai-partai berkembang subur terlihat mulai terbukanya aktifitas politik aliran dan pilitik ideologi masing-masing kekuatan politik. Masing-masing kekuatan  tersebut juga menyertakan barisan pendukung yang dilembagakan dalam berbagai bentuk kelompok mahasiswa dan pemuda.

[12] Pada kenyataannya, ‘gerakan mahasiswa’ yang berdiri pada pilihan ‘anti komunis’ ini banyak diberi ruang dan dukungan oleh Tentara pada waktu itu. Satu sisi kepentingan tentara dalam upaya terlibat menggeser kekuasaan Soekarno amatlah kentara. Setelah keberhasilan tahun 1966 dan berkuasanya Orde Baru yang dipimpin Soeharto, banyak aktifis 66 ini masuk dalam jajaran kekuasaan dan pimpinan negara. Catatan menarik tentang situasi ini bisa dibaca pada: Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, LP3ES, Jakarta, 1983.

[13] Momen sejarah yang amat menentukan dari lahirnya sistem represi ini dapat terlihat pada respon kekuasaan Orde Baru terhadap geliat resistensi mahasiswa di tahun 1974 yang kemudian akrab disebut sebagai peristiwa Malari (Peristiwa 15 Januari 1974). Dalam keputusan Menteri Pertahanan Negara, M Pangabean, ada sedikitnya tiga langkah untuk merespon peristiwa tersebut yang salah satunya ikut berpengaruh pada kehidupan GM: Pertama, demontrasi yang menurut pengalaman menimbulkan kekacauan-kekacauan dalam masyarakat tidak dibenarkan lagi; Kedua, menertibkan pemberitaan dalam pers/surat kabar; Ketiga, menertibkan kehidupan dalam universitas-universitas/sekolah-sekolah agar tidak digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik. Lihat, Marzuki Arifin, Peristiwa 15 Januari 1974, Publishing House Indonesia, Jakarta, 1974, hal. 339 dikutip dalam buku Ignatius Haryanto, Indonesia Raya Dibreidel, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2006, hal. 43.

[14] Apa hakikat ‘kebebasan’ dalam ‘korelasinya’ dengan kehidupan masyarakat warga dan potensi-potensi negativitasnya bisa melihat tulisan Fitzerald K.Sitorus, “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G.W.F Hegel” dalam buku: F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 201o, hal. 123.

[15] Sistem ‘plutokrasi’ lebih menunjukan kecenderungan sistem yang beradaptasi pada praktik lanjutan demokrasi representatif liberal dengan capaian-capaian prosedural terbatas dan lebih beradaptasi pada ‘kekuasaan otokrasi’ yang lihai memainkan  manipulasi-manipulasi dalam pemilu.,

[16] Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, Kerangka mendasar teoritik dari buku ini  dituliskan bahwa “Kerangka Institusional kekuasaan dapat berubah–misalnya ke arah yang lebih demokratis dan terdesentralisasi  sebagaimana di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto-tetapi relasi kekuasaan yang menopangnya mungkin saja bertahan dalam konteks intitusional yang baru”.

[17] Lihat, Vedi R. Hadiz, Ibid, hal. 271.

[18] Lihat, Baskara T Wardaya, dkk., Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia, Penerbit ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta, 2007.

[19] Tidak berarti melupakan dan mengabaikan keterkaitan momen transisi politik sebelumnya seperti transisi naiknya Orde Baru 1966 dan setelahnya, tetapi setidaknya momen transisi 1998 membuktikan secara nampak bahwa diskursus dan eufoia demokrasi begitu luar biasa dirasakan. Perubahan-perubahan sistem  baik aturan dan kelembagaan demokrasi juga begitu gegap gempita. Tidak harus dulu memberi penilain dan kritik pada moment perubahan ini, namun sebagai sebuah penggalan sejarah, ia menarik untuk dicermati. Artinya pula tidak bisa dipungkiri bahwa ekspetasi dan harapan politik atas perubahan menuju demokrasi yang sejati begitu besar hadir dalam pandangan dan pikiran hampir keseluruhan rakyat Indonesia.

[20] Lihat dalam kasus krisis politik demokrasi di Burma (Myanmar) yang pernah berlangsung. Rezim junta milkiter justru selalu dipertahankan oleh kekuatan kapitalisme liberal karena fungsi manfaat keuntungannya yang besar ketimbang menggantikannya dengan sistem demokrasi rakyat. Kebijakan Liberal tidak semerta-merta mampu menggantikan “rezim militer yang otoriter”  menjadi sitem “politik yang demokratis”. Diambil dari tulisan Katherine Barbieri “The Liberal Illusion: Does Trade Promote Peace (2002), yang dikutip oleh Ronny Agustinus, dalam “Rezim Militer dalam Ilusi Kaum Liberal”, di Jurnal ‘KONSTALASI’, edisi 2, Oktober 2007.

[21] Lihat, Pieere-Philippe Rey, Les Aliances des Classes, dikutip dari tulisan Aidan Foster-Carter, “The Model of Production Controversy”, New Left Review, no. 107, Jan-Feb, 1978.

[22] Lihat, Vedi R. Hadiz, Ibid, hal. 216.

[23] Untuk mendapat gambaran tentang sejarah ‘perdagangan bebas’ dan beberapa implementasi praktiknya bisa dilihat di, Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Mensiasati Globalisasi Menuju Dunia Yang Lebih Adil, Penerbit Mizan, Bandung, 2007.

[24] Lihat, Kenichi Omahe, The End of The Nation State, New York : Simon and Schuster, 1995. Beberapa anggapan ini meyakini bahwa negara sudah saatnya melenyap karena akan mengganggun berjalannya mekanisme pasar. Kenichi Omahe dalam bukunya The End of Nation State begitu amat yakin bahwa pada era sekarang tidak ada lagi tapal batas yang dimaksud dengan sebuah negara. Lenyapnya negara adalah sebuah keharusan karena peran negara sudah tidak lagi menentukan bagaimana sistem ekonomi politik saat ini berjalan. Apa yang sejatinya sekarang berjalan adalah kekuatan korporasi pasar. Tak ada lagi yang bisa disebut sebagai hasil dari produk negara.

[25] Lihat, I. Wibowo, Negara Centeng : Negara dan Saudagar di Era Globalisasi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 6.

Tinggalkan komentar

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui email.

Bergabung dengan 4 pelanggan lain

Blog Stats

  • 16.168 hits